Langsung ke konten utama

Studi Kasus Hak Cipta


1.    Kasus Pelanggaran Inul Vizta vs Nagaswara
PT. Vizta Pratama, perusahaan pemegang franchise rumah bernyanyi (karaoke) Inul Vizta, menjadi tersangka atas kasus pelanggaran hak cipta. Nagaswara selaku penggugat menganggap Inul Vizta melanggar hak cipta dengan mengedarkan dan menyalin lagu tanpa membayar royalti untuk produser dan pencipta lagu. Direktur Utama Nagaswara, Rahayu Kertawiguna, yang turut hadir, menjelaskan bahwa sudah terdapat pemanggilan kepada pihak terkait, namun Kim Sung Ku selaku direktur utama Inul Vizta saat ini masih berada di Korea.
Sebelumnya, Nagaswara yang turut merasa dirugikan oleh Inul Vizta melapor ke Mabes Polri pada Jumat, 8 Agustus 2014. Pihak Nagaswara telah melakukan gugatan kepada PT Vizta Pratama, dalam hal ini Inul Vizta dianggap telah menggunakan video klip bajakan dalam lagu-lagu milik Nagaswara di rumah karaokenya. PT Nagaswara memperkarakan Inul Vizta karena menampilkan video klip Bara Bere yang dinyanyikan Siti Badriah dan lagu Satu Jam Saja yang dipopulerkan oleh Zaskia Gotik, tanpa izin terlebih dahulu kepada Nagaswara.
Menurut Otto Hasibuan selaku kuasa hukum PT. Vizta Pratama, yang dilakukan pihak Inul Vizta sudah benar. Pihak Inul telah membayar royalti setiap tahun kepada Nagaswara, dalam hal ini sebagai penggugat, melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia). Inul Vizta sudah meminta izin kepada WAMI untuk menaruh lagu-lagu milik Nagaswara di rumah karaokenya. Namun WAMI tidak memberikan video klip asli seperti yang sedang dipermasalahkan oleh Nagaswara. "Karena tidak diberikan oleh WAMI, kita jadi asal mengambil, tapi yang penting kan sudah bayar," papar Otto.

Tanggapan saya:
Tanggapan saya mengenai kasus hak cipta inul vista vs PT. Nagaswara ini adalah saya setuju inul vizta telah melanggar undang-undang hak cipta karena telah menyalin dan mengambil lagu milik PT. Nagaswara tanpa memberikan royalti kepada perusahaan tersebut. Karena menurut saya karya atau ide dari sebuah lembaga atau seseorang sangat patut dihargai atau dalam konteks pelanggaran hak cipta ini adalah pihak inul vizta harus memberikan royalti kepada PT. Nagaswara selaku pihak yang memiliki sebuah karya atau ide. Dari royalti tersebut lah karya atau ide itu bisa dihargai atau dinilai.
Di mata hukum Indonesia, pihak inul vizta telah melakukan pelanggaran hak cipta yaitu pasal 113 ayat 3 Undang-undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)". Sudah sangat jelas tertera pada undang-undang tersebut jika kita memakai sebuah karya orang lain itu adalah pelanggaran hak cipta. Seharusnya inul vizta harus mengetahui hal-hal mendasar tersebut sebelum membuka suatu usaha seperti  tempat karaoke agar tehindar dari masalah-masalah seperti ini.
Dalam kasus ini pihak inul vizta mengaku telah melakukan izin dan membayar royalti kepada pihak PT. Nagaswara namun melalui perantara yaitu WAMI (Wahana Musik Indonesia). Menurut pandangan saya itu adalah hal yang kurang baik untuk dilakukan karena pihak inul vizta tidak langsung meminta izin dan berhadapat langsung dengan pihak PT. Nagaswara itu sendiri sehingga menyebabkan kesalahpahaman terhadap dua belah pihak yang akhirnya menjadi suatu kasus hukum. Ada baiknya pihak inul vizta menggunakan cara yang pasti dan sudah jelas yaitu meminta izin langsung kepada pihak yang bersangkutan yaitu PT. Nagaswara itu sendiri agar tidak terjadi salah paham.

2.    Kasus Hak Cipta Monyet Selfie di Sulawesi
Monyet asal Sulawesi Utara, Naruto, kembali menjadi sorotan dunia seiring dengan kelanjutan gugatan hak cipta selfie atau swafoto monyet tersebut di pengadilan tingkat banding di Kota San Francisco, Amerika Serikat, Rabu 12 Juli 2017. Debat argumen kasus itu di pengadilan banding menjadi tontotan mahasiswa hukum dan warga AS.
Dikutip dari Time, Jumat 14 Juli 2017, kasus ini bermula saat swafoto Naruto ini viral di internet. Naruto memfoto dirinya dengan menggunakan kamera fotografer alam liar asal Inggris, David Slater yang sedang berkunjung di Indonesia pada 2011.
Naruto yang berswafoto menggunakan kamera milik Slater dan menekan tombol rana di kamera. Swafoto itu kemudian dipublikasi dalam buku berjudul ‘Wildlife Personalities’, yang diterbitkan perusahaan penerbitan independen Blurb, yang berbasis di San Francisco, pada 2014.
Beredarnya swafoto monyet Sulawesi itu kemudian mendapat perhatian dari organisasi pemerhati binatang, People for the Ethical Treatment of Animal (PETA). Organisasi itu kemudian menggugat Slater dan penerbit Blurb, atas tudingan pelanggaran hak cipta. PETA berpendapat hak cipta swafoto itu seharusnya milik Naruto.
PETA mengajukan gugatan ke pengadilan pada 2015. Organisasi itu berharap pemerintah lokal bisa mengelola semua hasil foto yang diambil dari alam liar di Sulawesi itu untuk Naruto. Pada 7 Januari 2016, pengadilan federal AS di San Francisco, memutuskan monyet hitam Sulawesi itu tak bisa memiliki hak cipta swafoto. Alasan hakim saat itu, monyet itu bukanlah manusia.
Tapi kemudian kasus ini naik ke tingkat pengadilan banding. Banyak yang menganggap kasus ini konyol. Pengadilan banding pada Rabu lalu mendengarkan argumen dari pengacara kedua pihak, apakah seekor binatang dapat memiliki hak cipta untuk swafoto yang dilakukannya. Sidang banding untuk mendengarkan argumen itu digelar selama 45 menit.
Dalam argumennya, pengacara Slater, Andrew Dhuey berpandangan  monyet menuntut bukan sebuah keputusan hukum di bawah undang-undang federal. Sementara, Slater meminta hak cipta swafoto itu milik Wildlife Personalities harus dihormati.
Sementara pengacara PETA, David Schwarz berpendapat, Naruto sudah terbiasa dengan kamera dan swafoto saat melihat dirinya dalam bayangan lensa.
Sepanjang persidangan Rabu itu, Schwarz menekankan, kasus tersebut sampai pada satu fakta sederhana, yaitu foto itu mendapatkan perlindungan hak cipta dan Naruto adalah pemegang hak ciptanya.
"Kita harus melihat kata 'penulis' dalam arti luas," kata Schwarz.

Tanggapan saya:
Kasus hak cipta yang menyangkut foto monyet di Sulawesi ini menurut saya adalah salah satu kasus yang konyol. Menurut saya permasalahan ini bukanlah hal yang harus dijadikan suatu kasus hukum karena ini adalah contoh kasus yang cukup sepele. Masih banyak kasus yang lebih besar dan lebih penting untuk dihakimi dibandingkan foto seekor monyet yang mengambil foto dirinya sendiri di kamera seorang turis dan dijadikan kasus hak cipta.
Menurut saya pihak Slater tidak bersalah karena pertama, foto itu sendiri diambil secara tidak sengaja karena Naruto (monyet asal Sulawesi tersebut) itu sendiri yang menekan tombol rana pada kamera dan karena itu berada di kamera Slater otomatis itu sudah menjadi kepunyaan Slater. Berbeda jika masalahnya bersangkutan dengan seseorang, Slater harus mempunyai izin dari orang yang ia ambil fotonya jika ingin disebarluaskan. Kedua, foto itu adalah foto seekor monyet yang adalah seekor binatang atau satwa, menurut saya selama foto itu tidak merugikan bagi kedua belah pihak yaitu pihak Slater dan Naruto itu sendiri maka itu bukanlah suatu masalah yang harus diperdebatkan.
Saya sependapat dengan kuasa hukum dari Slater yang menyebutkan hewan tidak bisa memiliki suatu hak cipta. Karena hewan adalah makhluk yang diciptakan tidak memiliki akal, jadi hewan itu sendiri tidak akan merasa keberatan kalau foto dirinya masuk kedalam buku seperti yang Slater lakukan. Jadi kesimpulannya adalah menurut saya hewan tidak berhak untuk memiliki sebuah hak cipta kecuali hewan tersebut adalah kepunyaan/kepemilikan orang lain.  
DAFTAR PUSTAKA




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETIKA PROFESI (CHEF)

A. Pengertian Etika Profesi Apa itu Etika Profesi? Berikut dibawah merupakan pengertian Etika Profesi menurut para ahli: 1.       Kaiser Menurut Kaiser (Suhrawardi Lubis, 1994:6-7), pengertian etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat. 2.       Siti Rahayu Menurut Siti Rahayu (2010), pengertian etika profesi adalah kode etik untuk profesi tertentu dan karenanya harus dimengerti selayaknya, bukan sebagai etika absolut. 3.        Anang Usman Menurut Anang Usman, SH., MSi, etika profesi adalah sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang memb...

Tugas SoftSkill (PKN)

KELOMPOK 2                                     ”KETAHANAN NASIONAL”                                                                                     DOSEN                      : Mutiara,SIKOM DISUSUN OLEH      : Aldo Elandri/ 30416517      ...

Contoh Kasus Undang-Undang Perindustrian

Ketujuh perusahaan yang ada di Indonesia, yaitu PT Newmont Minahasa Raya yang menambang emas di Sulut, PT Suryacipta Rezeki di Kepri dengan komoditas pasir darat, satu perusahaan tambang batu besi di Kepri, dan PT Karimun Granit juga di Kepri dengan komoditas granit. Pokok permasalahan yang membuat terjeratnya hukum ketujuh perusahaan tersebut adalah pencemaran lingkungan, penambangan illegal dan hutan lindung. Padahal seperti yang kita ketahui hal tersebut tidak akan terjadi apabila adanya koordinasi yang baik dengan instasi pemerintahan. Pencemaran lingkungan yang saat ini sering menjadi permasalahan adalah adanya limbah B3 yang berada dalam kriteria aman. Pemerintah harusnya lebih ketat dalam mengawasi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi maupun pertambangan. Setidaknya pemerintah harus dapat menjalankan peraturan-peraturan yang telah di buatnya dengan tegas. Banyak sekali dampak yang dihasilkan akibat perusahaan-prusahaan yang tidak bertanggung jawab ini, conto...